BANDUNG – Seni tari kerap menjadi media yang diyakini dapat memberikan pemahaman kepada para penonton baik dari sisi bentuk maupun teknik komposisinya. Bahkan jika dilihat secara kontekstual, seni tari di Indonesia kerap bersinggungan dengan disiplin ilmu sosiologi dan antropologi yang merupakan bagian integral dengan dinamika sosio-kultural masyarakat.
Hal inilah yang menjadi latar belakang pertunjukan bertajuk Garda The Musical di Universitas Katolik Parahyangan, Sabtu (23/12/2023). Pertunjukan ini digagas oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan EkosDance Company Solo.
Pertunjukan seni tari ini melibatkan sejumlah aktor dan penari ternama. Di antaranya Dwi Sasono, Widi Mulia, Beyon Destiano, Woro Mustiko, mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan, Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta dan pelajar SMKN 8 Surakarta.
Pentas Garda The Musical merupakan karya pertunjukan yang terinspirasi dari kehidupan burung di Indonesia. Makna yang diusung dari pentas ini adalah ingin mengajak manusia untuk tidak meniru kehidupan burung, tetapi mengambil nilai karakternya yang menyuarakan tentang kemanusiaan.
Kemudian dari inspirasi tersebut dikemas menjadi suatu karya drama musikal dengan kolaborasi sejumlah koreografi tari budaya daerah Seudati Aceh, Minang, Zapin Melayu, Gending Sriwijaya, Jawa, Banyuwangi, Bali, dan Maluku. Selain menyuguhkan koreografi tari, kolaborasi ini juga menampilkan sejumlah dialog verbal.
Penampilan aktor Dwi Sasono dan Widi Mulia dalam pementasan Garda The Musical yang digelar di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat. (Foto: Istimewa)
Latar cerita Garda The Musical berkisah tentang seorang ibu bernama Rerasi yang kehilangan anaknya (Jenar) karena termotivasi melakukan pencarian menjadi tokoh Garda. Dalam perjalanannya, Jenar bermimpi mendapatkan pusaka cahaya delima. Pusaka itu diyakini sebuah simbol ilmu pengetahuan dan alat yang mengubah seketika menjadi tokoh Garda. Pentas ini ingin menunjukkan bahwa ego dan ambisi dapat menghancurkan keharmonisan keluarga, khususnya ibu dan anak.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra mengatakan, pementasan seni tari ini bisa dikatakan sebagai suatu cara berkomunikasi kepada masyarakat terkait nilai-nilai yang terkandung di dalam alur ceritanya
“Pentas Garda The Musical menjadi salah satu bentuk inovasi yang mengkolaborasikan nilai interaksi burung menjadi prinsip humanisme yang harus selalu dipertahankan dan disebarluaskan kepada publik,” ujar Mahendra.
Ia juga menyambut baik gagasan pentas Garda The Musical yang mampu membentuk imajinasi baru dalam sebuah karya seni pertunjukan. Pentas tersebut dirasa mampu mentransformasikan nilai-nilai dunia burung menjadi nilai kemanusiaan.
Garda The Musical menjadi suatu cara unik ketika drama musikal mampu berpadu dengan keelokan budaya Nusantara dan sekaligus menjadi sebuah harmoni.
“Konsep pentas Garda The Musical sekaligus menunjukkan keberagaman budaya yang begitu dirawat Indonesia mampu bersinergi menjadi pertunjukan dan edukatif yang menarik untuk masyarakat,” terang Mahendra.
Kendati demikian, Mahendra menegaskan nilai-nilai positif dalam kehidupan manusia dapat disajikan secara lembut dan simbolis. “Pentas ini menjadi sebuah karya seni kreatif yang membangun ruang komunikatif ajaran makna hidup pemain dan penonton drama musikal,” tegasnya.
Diketahui, pertunjukkan Garda The Musical turut didukung oleh Universitas Katolik Parahyangan, Badan Penggalangan Dana Lestari, PT Karyabakti Parahyangan, Integrated Arts, iForte, dan SMKN 8 Surakarta. (cha)