TENGGARONG – Prosesi Belimbur menjadi penutup sakral dari puncak Festival Erau Adat Kutai 2024 sebagai simbol keabadian adat leluhur dan keberlangsungan tradisi di tanah Kutai, Kalimantan Timur. Belimbur dilakukan setelah pelaksanaan prosesi Mengulur Naga di Sungai Mahakam.
“Bersama-sama kita mendoakan agar seluruh rangkaian prosesi adat ini berlangsung dengan hikmat dan tertib, agar memberi citra yang baik di mata rakyat Kalimantan Timur dan seluruh Nusantara,” ujar Penjabat Sementara (Pjs) Bupati Kutai Kartanegara, Bambang Arwanto saat membuka prosesi Belimbur pada Festival Erau di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Minggu (29/9/2024).
Sebelum Belimbur, prosesi Mengulur Naga digelar. Replika Naga Laki dan Naga Bini diarak dari Tenggarong menuju Kutai Lama. Di muara Sungai Mahakam, tubuh kedua naga dilarung sebagai persembahan kepada penguasa alam gaib. Sementara kepala dan ekornya dibawa kembali ke Tenggarong untuk disemayamkan di Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Prosesi ini bukan sekadar simbolis, melainkan ritual sakral yang menjadi sarana komunikasi antara alam nyata dan alam gaib. Saat tubuh naga dilarung, Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura melaksanakan ritual Berumbang dan Rangga Titi di Tenggarong sebagai persiapan spiritual sebelum Belimbur.
Prosesi mengulur Naga digelar sebelum Belimbur. Replika Naga Laki dan Naga Bini diarak dari Tenggarong menuju Kutai Lama, Kutai Kartanegara, Minggu (29/9/2024). (Foto: ANTARA/Ahmad Rifandi)
Belimbur adalah ritual pencucian diri yang dilakukan setelah air suci (Air Tuli) dari Kutai Lama tiba di Tenggarong. Sultan, kerabat Kesultanan, dan masyarakat akan memercikkan Air Tuli ke tubuh dengan Mayang Pinang, serta ke empat penjuru mata angin. Ini melambangkan pembersihan diri dari pengaruh jahat dan permohonan perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
Bambang Arwanto mengajak semua pihak menjaga ketertiban dan menghormati nilai-nilai luhur adat istiadat Kutai agar ritual berjalan lancar. “Dalam melaksanakan ritual adat Belimbur yang sakral ini, kita semua wajib menjaga etika dan sopan santun,” tegasnya.
Tata krama Belimbur adalah titah Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Rakyat yang bersuka cita di tanah Kutai harus mematuhi aturan agar makna suci Belimbur tidak ternodai oleh perilaku tidak pantas.
Pangeran Aji Amijoyo dari Kesultanan Kutai ing Martadipura menambahkan bahwa prosesi ini akan mengulang tapak tilas dengan membawa dua replika naga ke Kutai Lama. Menurut Amijoyo, festival ini menjadi representasi identitas bangsa Indonesia melalui kearifan lokal dan semangat masyarakat dalam melestarikan tradisi.
Selain aspek budaya, Erau juga memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat Kutai Kartanegara. Festival ini menjadi potensi penggerak peningkatan pariwisata di wilayah Kalimantan Timur, terutama dengan kehadiran Ibu Kota Nusantara yang beririsan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara.
“Erau diharapkan dapat menjadi citra eksklusif yang membanggakan bagi masyarakat Kalimantan Timur,” ungkap Amijoyo.
Amijoyo menjelaskan empat prinsip dasar yang menjadi pondasi Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, yang disebut “empat buncu pasak bumi”, yakni adat, adab, berbudaya, dan bersyarat. “Jika nilai-nilai dasar ini tersosialisasi dengan baik kepada generasi muda, Kutai Kartanegara akan menjadi titik cahaya yang menerangi bumi persada Ibu Kota Nusantara,” ucap Amijoyo.
Belimbur menjadi penutup meriah Festival Erau Adat Kutai 2024 yang sudah dimulai pada 21 September 2024. Tradisi saling menyiramkan air ini memiliki makna spiritual mendalam sebagai bentuk penyucian diri dan rasa syukur masyarakat. Mereka yang menghadiri acara penutup Erau siap basah kuyup, karena aksi siram-menyiram air tidak hanya terjadi di darat, tetapi juga dari arah sungai. (ant)