Lestarikan Makanan Tradisional, Pemkab Berau Gelar Lomba Kuliner Suku Bajau

Related Articles

TANJUNG REDEB – Tak hanya Ancur Paddas dan Puncak Rasul, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur juga memiliki kuliner khas lain dari suku Bajau, salah satu suku asli di Berau, yaitu Tehe-tehe dan berbagai hidangan laut lainnya. Tehe-tehe biasanya dihidangkan untuk menyambut tamu istimewa.

Untuk melestarikan kuliner khas Bajau tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau menggelar lomba kuliner khas Bajau untuk menyemarakkan Hari Jadi ke-70 Kabupaten Berau dan ke-213 tahun Tanjung Redeb. Lomba kuliner itu juga disertai dengan lomba Tari Dalling kreasi.

Lomba kuliner dan tari yang diikuti puluhan masyarakat umum hingga instansi daerah itu, dilaksanakan di Kampung Tanjung Batu Kecamatan Pulau Derawan.

Seperti diketahui suku asli di Kabupaten Berau terdiri dari Bajau, Berau dan Dayak. Sebelumnya telah dilaksanakan lomba kuliner khas Suku Berau, berupa Ancur Paddas atau bubur pedas dan Puncak Rasul atau ketan yang disusun tiga tingkat seperti tumpeng yang datar.

“Sebagaimana telah dilakukan di Tanjung Redeb, kali ini lomba kuliner giliran khas Suku Bajau yang dilaksanakan di Tanjung Batu,” tutur Bupati Berau Sri Juniarsih saat membacakan sambutannya, Kamis (21/9/2023).

Baca Juga:   Maratua Jazz and Dive Fiesta 2023, Satu-satunya Konser Jazz di Tepi Pantai
Bupati Berau Sri Juniarsih saat memegang makanan khas Suku Bajau, Tehe-tehe.  (Foto : Amnil Izza/Event Nusantara)

 

Ia ingin ke depan tidak hanya masyarakat Kabupaten Berau yang menyaksikan lomba kuliner maupun Tari Dalling kreasi ini, tapi juga masyarakat dari luar daerah. Sehingga, menjadi daya tarik kuliner serta budaya bagi daerah pesisir.

“Efeknya tentu akan bisa mengangkan ekonomi masyarakat. Apalagi Tanjung Batu dikenal dengan wisata dan berbagai kuliner lautnya,” terangnya.

Seperti udang ronggeng dan kepiting yang diakui Sri Juniarsih tidak mudah untuk mendapatkan. Olahan hasil laut itu katanya, perlu dikembangkan termasuk kebudayaan yang ada di pesisir jangan sampai tergerus oleh zaman.

Begitu juga dengan kebudayaan lain khas Bajau seperti Mag Jamu atau tradisi menguatkan masyarakat agar terhindar dari mara bahaya dan Mag Lami-Lami atau tradisi yang dilakukan setelah Maulid Nani yang berarti sudah damai dan sejahtera. Sri mengatakan, harus terus dipromosikan agar lestari dan semakin dikenal masyarakat luas.

Pelan-pelan katanya, pemerintah juga terus membenahi daya tarik pariwisata dan UMKM untuk peningkatan ekonomi masyarakat.  “Ini sangat berdampingan dan akan menjadi daya tarik yang tidak akan habis selama kita jaga,” tandasnya.

Baca Juga:   Kenalkan Beragam Persenjataan Lewat Festival Alutsista

Jabatan Fungsional Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Berau, Retno Kustiah menjelaskan, makanan khas Suku Bajau memang didominasi dengan olahan hasil lautnya. Seperti Tehe-tehe yang disebutkan Bupati Berau sebelumnya. Berbahan dasar beras ketan yang dimasak bersama santan. Uniknya, Tehe-tehe ini dibungkus cangkang berduri seperti bulu babi duri pendek. Hewan tersebut banyak ditemukan di batu karang pada perairan Derawan dan Maratua.

Sebelum memasak beras ketan, isi cangkang telah dikeluarkan terlebih dulu. Tapi, isinya pun bisa dikonsumsi jika mau. Bagi Suku Bajau, hidangan tehe-tehe biasanya disuguhkan untuk menyambut tamu istimewa.

“Selain di Kecamatan Pulau Derawan, Tehe-tehe juga bisa ditemukan di Kecamatan Pulau Maratau. Karena masyarakat Suku Bajau juga banyak yang tinggal di Maratua,” jelasnya.

Olahan ikan yang tak kalah unik yakni, abon dan kare ikan pari. Bukan sembarangan, ikan pari yang diolah merupakan pari yang diperbolehkan untuk dikonsumsi.

Pari tersebut juga bisa diolah sebagai lauk. Yang membedakan hanya dibumbui bawang merah, bawang putih serta serai saja. Tanpa tambahan rempah-rempah atau pun bumbu dapur lainnya.

Baca Juga:   Festival Rakyat Jadi Ajang Promosi Wisata Berkelanjutan

“Kami bersyukur makanan khas Bajau masih dilestarikan semua oleh masyarakat. Karena adat istiadatnya juga masih kental,” ucapnya.

Selanjutnya, Retno juga menjelaskan secara singkat terkait Tari Dalling yang ikut dilombakan. Menjadi kebudayaan khas Suku Bajau, Tari Dalling ditarikan secara berkelompok. Kali ini yang dilombakan yakni Tari Dalling Kreasi. Perlu dikreasikan lantaran dinilai lebih menarik dibanding versi aslinya.

Diperkirakan pertama kali muncul pada tahun 1.800 silam. Berbeda dengan Tari Igal tunggal yang ditarikan oleh seorang perempuan atau seorang laki-laki. Tari Dalling membutuhkan keserasian kelompok dan kelenturan tubuh para penarinya.

“Kalau hanya aslinya daya tariknya itu kurang. Karena aslinya tidak pakai musik, tapi hanya menggerakkan badan dengan sedikit hentakan kaki yang  agak keras hingga mengeluarkan bunyi,” tutupnya. (mnz)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img