JAKARTA – Chairman South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI), Dato Lim Hong Thye, menyampaikan peringatan tegas kepada negara-negara ASEAN tentang potensi krisis industri baja akibat lonjakan ekspor baja murah dari China dan dampaknya terhadap keamanan publik serta ketahanan ekonomi kawasan.
Dalam pidatonya pada pembukaan Iron-Steel Summit & Exhibition Indonesia (ISSEI) 2025, Rabu (21/5/2025) di Jakarta International Convention Center (JICC), Dato Lim menguraikan industri global saat ini berada dalam kondisi ketidakpastian yang dipicu oleh kebijakan proteksionis Amerika Serikat.
“Tarif 25 persen yang diberlakukan AS pada baja dan aluminium sejak Maret 2025 telah mengguncang peta perdagangan global. Negara-negara eksportir kini mencari pasar alternatif, dan Asia Tenggara menjadi sasaran utama,” ujarnya.
Chairman South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI), Dato Lim Hong Thye saat memberikan sambutan dalam acara ISSEI 2025. (Foto: Nicha/Event Nusantara)
Ia mengungkapkan pada 2024, ekspor baja China mencapai 110 juta ton metrik, dengan lebih dari 33 juta ton mengalir ke Asia Tenggara. Ini, menurutnya, berpotensi mengulang tekanan pasar yang sama seperti tahun 2013–2015.
“Penjualan baja murah dari China ke ASEAN terjadi dalam volume besar dan harga rendah. Ini merusak harga lokal dan mengancam kelangsungan operasional produsen domestik,” ujarnya.
Dato Lim menilai kondisi ini diperburuk oleh masuknya teknologi produksi usang seperti induction furnace, yang menghasilkan baja berkualitas rendah dan merusak ekosistem industri baja nasional di negara-negara ASEAN.
Lebih jauh, ia menyinggung insiden runtuhnya gedung 30 lantai di Bangkok sebagai contoh nyata dari bahaya penggunaan baja tidak sesuai standar. Kasus ini ditelusuri hingga pada penggunaan bahan bangunan bermutu rendah hasil dari proses peleburan yang tidak aman.
“Ini bukan lagi soal ekonomi semata, tapi menyangkut keselamatan masyarakat. Gedung besar bisa runtuh hanya karena baja yang digunakan tidak layak. Ini sangat serius,” tegasnya.
Dato Lim mendesak agar seluruh negara ASEAN mengikuti langkah Thailand yang telah memperketat regulasi investasi dan lisensi industri baja. Ia meminta pemerintah kawasan segera bertindak agar tragedi serupa tidak terulang.
Meskipun menghadapi tekanan saat ini, Dato Lim melihat tanda-tanda perbaikan dari restrukturisasi industri baja China. Ia menyebut adanya rencana pemangkasan kapasitas produksi dari 1,2 miliar ton menjadi sekitar 800 juta ton dalam beberapa tahun ke depan.
“Ini kabar baik bagi keseimbangan pasar global. Namun kita harus siap menghadapi turbulensi pasar baru yang mungkin muncul karena relokasi produksi ini,” katanya.
Sebagai penutup, ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan sektor swasta untuk mencegah terulangnya krisis industri baja yang pernah terjadi satu dekade lalu. “ASEAN harus bangkit, menetapkan standar bersama, dan tidak mengorbankan masa depan demi keuntungan sesaat,” pungkasnya. (cha)